Chocolateva's fruit

try to be usefull person,simplify,share,and smiled ^^

Second Autumn


From KavitaIt’s really gorgeous place. Thanks for Sarah. Nice Sharing 😉

                Bola mata tegasnya memandang lekat. Keduanya saling beradu pandang, melangkah seirama menyusuri jalan Southampton Common Park. Senyum hangat menyambut dan ia pun tanpa sungkan menyenderkan kepala di bahu kiri laki-laki itu. Sesekali, daun maple merah maroon jatuh di jilbab hijau toska sang perempuan. Tak jarang, daun-daun lain pun menyusul terbawa angin dan jatuh tepat di kedua tangan yang saling mengenggam erat. Tanpa kata, tanpa suara, hanya terdengar suara daun kering berserakan yang tak sengaja terinjak oleh mereka. Inilah musim gugur kedua, yang tak pernah ia duga.

Hampir dua bulan berjalan, ia  mencoba beradaptasi, hidup di apartemen kecil tak jauh dari salah satu kampus ternama di Southampton bersama laki-laki yang tak asing lagi baginya. Bahkan mereka sudah mulai akrab selama tiga tahun ini. Namun entah kenapa, ia masih terasa canggung, seakan ia baru pertama kali mengenalnya. Semarang, 11 November 2010, dengan senyum sumringah, ia membawa buket bunga mawar dan crysanthemum di hadapan laki-laki itu. Masih nampak lekat dalam ingatannya, tiga tahun silam, dengan mengenakan gaun ungu lembut, ia nampak tak kalah manis dengan sang mempelai wanita dalam pesta pernikahan yang berlangsung khidmat dan romantis. Itulah kali pertama ia bertemu dengan laki-laki itu.

“Dek, nanti mas nampaknya pulang agak terlambat. Dua hari ini, berkas-berkas pemindahan tugas dari kantor harus segera di urus. Maaf, mas tidak bisa menjemputmu dua hari ini”, senyum manis laki-laki itu terurai, sejenak menghentikan kesibukannya membereskan dokumen-dokumen yang akan dia bawa ke salah satu kantor IT di London.

“Iya mas”, perempuan itu membalas senyumnya dan berjalan mendekati laki-laki itu untuk memasangkan dasi.

“Perlukah saya tunggu mas di stasiun kereta?”, ucap perempuan yang tak jauh dari sang lelaki.

“Thank you. Ga perlu dek, kamu pasti capek dari kampus. Tetap fokus dengan disertasimu ya”, laki-laki bertubuh tegap itu pun melepaskan tangan si perempuan tepat setelah dasi tertata rapi kemudian mengecup keningnya. Perempuan tadi terkejut, selangkah mundur menjauhinya, ia belum terbiasa dengan kecupan hangat di pagi hari. Laki-laki itu menanggapinya dengan senyum dan dia pun bergegas ke stasiun kereta agar tidak terlambat, karena membutuhkan waktu 2 jam dari Southampton menuju London.

Tak seperti kebiasaannya dulu ketika masih semester awal menempuh gelar S3nya. Perempuan manis tinggi semampai bernama Kinan. Dulu rutinitasnya tak jauh beda dengan mahasiswa single lainnya, bangun pagi menyiapkan sarapan sendiri, merapikan tugas kuliah lalu pergi dengan bus kota menuju salah satu kampus ternama di Southampton. Perempuan jurusan Web Science itu, kini tengah berusaha menyelesaikan disertasinya dengan mengemban amanah baru sebagai seorang istri. Suaminya bernama Zaki. Usia mereka terpaut satu tahun. Zaki lebih muda dari Kinan. Zaki bekerja sebagai konsultan IT di salah satu perusahaan Indonesia yang sering ditugaskan keluar negeri, untuk menemui client-client yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Dia sangat berjuang keras untuk ditempatkan bekerja mewakili perusahaannya itu di salah satu kota di sudut Inggris, sejak menikah dengan Kinan. Perjuangannya pun terbayar manis.

Assalamualaikum, Kinan. I’m so sorry dear, I can’t attend your wedding. You know our Professor right? But I’m very happy for both of you. Hmmm.. are you really married him? What’s his name?  ”, Rani, salah satu teman seperjuangan Kinan yang juga berasal dari Indonesia. Mereka berjumpa di koridor kampus hendak menuju ruang kelas pertama.

“Zaki. Fairus Zaki.”, jawab Kinan ramah.

“Ga apa-apa sayang. Indeed, Allah is a better planner. Allah telah mempersiapkan segalanya dengan rapi. Kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin melaksanakan tugas kita. Insya Allah, Zaki yang terbaik untukmu. Lalu bagaimana dengan anak kembarnya?”, Rani berusaha menghangatkan suasana kembali.

“Anak kami? Rafa dan Rafi bersama neneknya di Semarang.” Jawab Kinan.

“Oh maaf Kinan, aku bukan bermaksud untuk menegaskan hubungan kalian. maaf”, Rani merasa menyesal dengan pertanyaan terakhirnya.

“Tak apa Ran, memang demikianlah kami. Aku harus terbiasa dengan semua ini. Karena ini pun sepenggal episode yang harus aku jalani.”

Mereka bergegas menuju ruang kelas pelajaran pertama mereka di hari itu. Ruang kelas yang luas, bangku tersusun rapi berjenjang menurun membentuk setengah lingkaran, dengan guru besar atraktif yang berdiri agak jauh dari para mahasiswa.

Waktu bergulir begitu cepat. Usai menyelesaikan tugas kampusnya, Kinan segera bergegas menuju apartemen kecil. Ia terduduk di halte bus dengan angin autumn menjelang winter.

Don’t love you no more..na..na..na, nada dering bersuarakan Craig David pun membuyarkan lamunannya.

“Assalamualaikum bu, wonten menopo bu?”, jawabnya pelan. Walau ia cukup lumayan lama tinggal di Inggris, tetapi ia masih fasih menggunakan bahasa jawa halus. Ia menanyakan ada apa kepada ibunya.

“Waalaikumsalam, Rafa sakit. Dia terus saja memanggil ibunya. Kamu sekarang menjadi ibu Rafa. Bisakah kamu menenangkannya nak?”, tak biasanya Ibu menelopannya di sore hari seperti ini.

“Iya Bu, boleh tolong sambungkan dengan Rafa”.

Tak lama berselang, dia hanya mendengar suara tangis anak kecil yang baru menginjak 1,5 tahun. Bunda, bunda, sayup-sayup terdengar dalam isaknya.

“Sayang, ada tante disini. Sayang ini bunda. Rafa baik-baik saja kan nak?”, ia berusaha menenangkan Rafa. Sesekali ia harus meralat kata-katanya. Tak lama kemudian, ia pun berhasil membuat anak kecil itu berhenti dari tangisnya. Ia rindu dengan ibunya.

“Makasih ya sayang. Apa ibu mertuamu sudah pernah meneleponmu?”, tanya Ibu.

“Belum bu. Ibu mungkin sedang membutuhkan waktu untuk menerima semua ini. Ibu begitu sayang dengan Laras. Kinan harus berusaha memaklumi.” Jawabnya tenang,sesekali menghela nafas,ia berusaha untuk tetap tegar.

“Kau begitu baik nak. Ibu sayang kamu Kinan. Sampaikan salam ibu untuk Zaki. Baik-baik disana ya sayang. Kami merindukanmu. Kami tuggu di Indonesia. Assalamualaikum”.

Begitu dalam dan singkat percakapan mereka. Kinan tak sanggup menahan air matanya. Dalam diam, di sudut bangku bis kota itu, dia tertunduk dan menangis. Pikirannya mengawang, teringat akan kisah dan kenangan hidup sebelumnya. Terbata, ia mulai mengeja keputusannya. Benarkah pilihan yang sudah ia ambil sekarang? Terurai, seperti benang yang kemudian terulur dari ikatannya. Ia mulai melompat-lompat dalam benaknya, menelusuri gang memorinya, berkelok-kelok, berhenti, berlari, sepi.

“Maafkan aku Kinan. Selama ini aku mencintaimu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Sekali lagi maafkan aku. Keluarga kami sudah saling mengenal. Maafkan aku karena aku memutuskan untuk memilihnya” Tangisnya semakin sesak, ia teringat kata-kata terakhir Okta, seniornya ketika menempuh studi S2, mereka berdua selama ini saling memendam rasa saling suka dan berakhir dengan perpisahan dalam diam.

“Kau tahu, sejak saat itu aku belum pernah membuka hati lagi hingga dia datang setelah semua ini”, suara lirihnya hampir tak terdengar oleh penumpang lain di dalam bus.

“Ibu sayang sama Laras. Ibu benar-benar menyayanginya. Tak ada yang bisa menggantikannya.” Demikian pula, tiba-tiba ia terngiang dengan kata-kata terakhir ibu mertuanya.

“Aku juga ingin ibu menyayangiku seperti ibu menyayanginya. Aku adalah aku bu, aku bukanlah Laras. Aku hanya ingin diterima sebagai Kinan. Bukanlah Laras” Tangisnya semakin dalam.

“Bunda, bunda, mau bunda”, rengekan Rafa dan Rafi pun ikut menghiasi pikirannya.

“Maafkan tante sayang. Izinkan tante menjadi Bundamu. Kalian anak yang kuat dan tegar.” Ia berusaha menguatkan diri.

“Laras..Laras,sayang. Izinkan aku ikut bersamamu. Laras aku mencintaimu.” Demikian ia pun teringat ketika Zaki mengigau dalam tidurnya.

“Mas, aku memang tidak secantik Laras. Tidak selembut Laras. Tidak sepintar Laras dalam memasak, keibuannya, jiwa seninya, kesabarannya, ketelitiannya. Entah apa yang membuatmu memilihku. Apa karena Rafa dan Rafi. Aku bersedia menjadi bundanya, aku bersedia menjadi istrimu. Aku ingin mas menerimaku sebagai Kinan.”

Ia teringat kata terakhir Larasati. Adek satu-satunya yang tak lama meninggal karena kanker otak yang dideritanya.  

“Mba, terima kasih atas semuanya. Mba sudah berkorban banyak untukku, merawatku. Titip keluarga kecilku.”

“Aku sayang kamu Laras”

by : vazulfah ^^-

————————————————–

So, that was the end ^^- Seorang Penulis. Nampak terasa indah didengar. Yups…salah satu big dream seseorang yang biasa ini adalah juga bisa menjadi seorang penulis 😉 Setidaknya nanti bisa menjadi seorang penulis yang menuliskan kisahnya sebagai seorang Bunda untuk anak-anaknya tersayang =’) atau sebagai seorang istri yang setia kepada suaminya hingga tutup usia dimana dapat saling melengkapi dan menyayangi satu sama lain =’)
Second Autumn, merupakan cerita fiksi yang berhasil ditorehkan karena keinginan untuk belajar menulis. Sebenarnya pas banget sedang ada moment menulis dari Gramedia yang nanti akan diarahkan oleh Clara_ng *bagi yang menang ^^-
But it’s gonna be okay. Menang atau tidak,bukankah dengan ini sudah melewati satu proses yang namanya belajar ^^ But Hope always accompany 😉 Ceritanya tema yang saya angkat kali ini adalah MetroPop. Mungkin klo boleh request, mohon diperbanyak jumlah maksimal karakternya =p jadi biar ceritanya tidak terburu-buru ^^ Entah kenapa saya juga suka dengan yang namanya sastra. Walau sama sekali buta tentang apa itu sastra ^^ Whereever we are, we can enjoy each part of our life.

2 comments on “Second Autumn

  1. risna rahma
    September 6, 2013

    nice writing 😀

  2. chocolateva
    September 6, 2013

    makasih mba risna ^^-

Leave a comment

September 2013
T W T F S S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930

Blog Stats

  • 79,141 hits